KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA



A.    LATAR BELAKANG
Pemaksaan oleh satu pihak atas pihak yang lain, munculnya tindakan-tindakan eksploitatif, sebuah tindakan yang memposisikan seksualitas sebagai komoditas untuk meraih keuntungan material.
            Kekerasan ini justru dilakukan oleh orang, yang paling dekat di dalam kehidupan, pemaksaan ini seringkali dilakukan oleh suami. Matrial rape (pemerkosaan terhadap istri) seringkali terjadi hanya saja prinsip kerahasiaan rumah tangga menjadikan model tindak kekerasan tersebut sebagai kejahatan tersembunyi sehingga sulit terungkap.
            Media massa selalu memberitakan eksploitasi seksual seperti perdagangan perempuan, dimana para Anak Baru Gede (ABG) atau gadis belia dikomersilkan untuk dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK)






B.     RUMUSAN MASALAH
Dampak fisik dan pisikis terhadap kekerasan  seksual dalam rumah tangga ?
Legitimasi resmi kekuasaan laki-laki atas perempuan secara jiwa maupun
raga ?
Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama dengan penindasan ?
      Di mana letak keadilan, kesetaraan hak ?

C.    PEMBAHASAN

KEKERASAN SEKSUAL DALAM RUMAH TANGGA
Posisi al-quran sebagai sumber moralitas, dasar ayat untuk penghapusan kekerasan. Di dalam al-quran, satu-satunya hubungan seks yang dilegalkan adalah hubungan yang terjadi dengan didahului perkawinan (suami-isteri)
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 ....... ............
187.  Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka.

Ayat di atas mengambarkan suami-istri sebagai dua individu yang saling membutuhkan. Perlakuan seorang isteri yang ideal demikian pula sebaliknya. Kaitannya dengan hubungan seks, hak suami menikmati kapasitas seksual istrinya sama dengan hak isteri untuk menikmati kapasitas seksual suaminya. Perempuan ternyata mendapatkan hak yang sama. Ayat ini merupakan rekomendasi teologis agar suami dan isteri sama-sama menikmati hubungan seks yang mereka lakukan. Ayat ini meletakkan hubungan seks sebagai hak bersama. Mengenal batas-batas etika, ketepatan waktu, dan tempat

MENJAGA KESEHATAN REPRODUKSI
Kesehatan organ reproduksi perempuan merupakan bagian dari tanggung jawab sang suami, baik dalam bentuk penyediaan biaya pengobatan dan konsultasi secara berkala maupun dalam bentuk pengaturan jarak kehamilan.
     
Jenis produksi dalam hal ini keturunan yang lahir sangat bergantung pada suami. Quraish Shihab menarik pesan-pesan sebagai berikut :
Hai suami, pilih waktu tepat, atur masa kehamilan jangan setiap tahun anda panen, kerena ini merusak lading. Hai petani, bersihkanlah ladangmu dari segala hama, usir burung yang bermaksud membinasakannya, jangan tinggalkan ladangmu. Pupuk ia dengan pupuk yang sesuai. Kalau benih telah berbuah, perhatikan sampai tiba saat penennya agar buahber kualitas dan dapat tahan lama selama mungkin. Demikian pula suami yang menjadi petani, perhatikan istrimu, jangan tinggalkan sendirian, hindarkan dari segala ganguan, beri ia segala yang sesuai guna menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan janin yang akan atau sedang dikandungnya. Bila tiba saatnya ia mengandung, maka beri perhatian lebih dikandungnya. Bila tiba saatnya ia mengandung, mak beri perhatian lebih besar. Kemudian, setelah melahirkan, perlihara anakmu hingga dewasa agar dapat bermanfaat untuk orang tuanya, keluarga, bahkan kemanusiaan.[1]

      Hubungan seks sasaranya jelas (dari depan), menjamin kepuasan dua pihak (suami dan isteri), posisi tidak mempengaruhi bentuk fisik anak yang bakal lahir. Varian-varian posisi merupakan alternatif-alternatif yang dapat dipilih berdasarkan kesepakatan dalam rangka mencapai tujuan secara optimal. Gaya tekhnik dan posisi yang monoton sebagian orang menyebabkan kebosanan dan mengurangi kenikmatan.

      Perempuan tunduk pada suaminya, seorang isteri harus melayani suaminya kapan ia mau sekalipun diatas punggung unta (dalam riwayat lain) sekalipun di dapur.[2] Apabila seorang perempuan menolak keinginan suaminya melakukan satu hajat (hubungan seks) ia dilaknat sampai subuh.[3] Rasul juga bersabda bahwa orang yang terbaik diantara kamu adalah mereka yang terbaik dalam mempergauli istrinya, sejelek-jelek diantara kamu ada mereka yang paling buruk dalam memperlakukan istrinya. Hadits ini dapat dimaknai sebagai larangan untuk melakukan hubungan seks karena keterpaksaan, baik keterpaksaan itu dirasakan oleh pihak isteri maupun pihak suami.

EKPLOITASI SEKSUAL
kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk eksploitasi seksual adalah sebuah masalah sosial yang patut ditanggapi secara serius. Seperti rusaknya tatanan moral dan ancaman bahaya Penyakit Seks Menular (PSM), seperti spilis, HIV/AIDS dan lain-lain.
Eksploitasi seksual sudah terjadi ratusan abad silam. Al-qur’an yang turun pada abad ketujuh masehi, telah mengisyaratkan hal tersebut
4 Ÿwur (#qèd̍õ3è? öNä3ÏG»uŠtGsù n?tã Ïä!$tóÎ7ø9$# ÷bÎ) tb÷Šur& $YYÁptrB (#qäótGö;tGÏj9 uÚttã Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# 4 `tBur £`gd̍õ3ム¨bÎ*sù ©!$# .`ÏB Ï÷èt/ £`ÎgÏdºtø.Î) Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÌÈ
33.  dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

Pada masa jahiliyah tindakan eksploitasi seksual mengambil dua bentuk: pertama, eksploitasi yang terjadi pada perempuan-perempuan budak yang tidak mempunyai penanggung jawab (tuan) secara ekonomis, tidak ada keluarga yang sanggup menanggung ekonominya. Mengadakan perjanjian dengan beberapa laki-laki untuk memenuhi kebutuhan ekonomis dengan konpensasi menyerahkan tubuhnya sebagai pelampiasan nafsu seks laki-laki. Apabila terjadi kehamilan, setelah melahirkan ia memanggil seluruh laki-laki yang pernah mencampurinya, dan menetapkan salah seorang diantaranya sebagai ayah dari anak yang dilahirkan.

      Seorang majikan memaksa budak perempuannya untuk memberikan keuntungan financial dalam jumlah yang besar setiap bulan. Dengan segala keterpaksaaan, memenuhi kewajiban tersebut dengan menjual harga diri dan kehormatannya karena tidak mempunyai cara lain untuk membayar kewajiban-kewajiban tersebut.

      Dulu, mungkin hanya melibatkan seorang majikan lewat modus operandi perbudakan, namun sekarang melibatkan jaringan yang terorganisir (sindikat) rapi mulai dari germo, tukang pukul, backing, pelindung, dengan modus rekrutmen yang canggih seperti berkedok agensi pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) baik domestik maupun ke manca Negara.
Untuk menghentikan semua ini, tidak cukup hanya dengan pesan-pesan moral ataupun perangkat hukum dalam bentuk pasal-pasal. Tidak dipungkiri bahwa pesan moral dan ancaman hukuman seberat-beratnya sangat berpengaruh dalam menanamkan kesadaran baik kepada para pelaku maupun para korban. Akan tetapi disertai dengan peyebutan motif mengapa dan untuk apa ekploitasi itu terjadi (karena menghendaki keutungan ekonomi)
D.    PENUTUP
Kekerasan, pada dasarnya, adalah seluruh bentuk perilaku, verbal maupun nonverbal, yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang lain, yang menyebabkan efek negatife secara fisi, emosional, dan psikologis pada pihak sasaran (korban).[4] Dengan demikian, kekerasan adalah tindakan-tindakan, yang secara langsung ataupun tidak, menyebabkan potensi seseorang atau sekelompok orang tidak terwujud.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak secara khusus melindungi alat reproduksi perempuan, terutama Pasal 285 tentang pemerkosaan yang berbunyi: “siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengang dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman penjara selam-lamanya 12 tahun.”[5]

Sebuah perbuatan dikategorikan pemerkosaan bila memenuhi 3 syarat: (1) terdapat kekerasan/ancaman kekerasan, (2) terjadi persetubuhan, dan (3) korban adalah perempuan yang statusnya bukan istri pelaku. Ketiga syarat tadi harus terbukti seluruhnya. Kegagalan dalam membuktikan salah satu akan menggugurkan tuduhan pemerkosaan.[6]

Jika dicermati, rumusan Pasal 285 KUHP tentang delik permerkosaan di atas menyimpan sebuah anggapan bahwa dalam berhubungan seks seorang istri haru tunduk sepenuhnya kepada suami. Oleh karena itu, seorang istri tidak bisa mengadukan suaminya bila terjadi hubung seks tanpa persetujuannya. Hal ini kemudian memunculkan perdebatan panjang seputar soal pemerkosaan yang terjadi dalam ikatan perkawinan atau yang lebih sering disebut dengan marital rape.

Pemerkosaan dalam rumah tangga nyat-nyat melanggar hak istri Karen seks adalah juga haknya. Hubungan seks yang dilakukan di bawah tekanan atau pemaksaan sama dan sebangun dengan tekanan atau pemaksaaan sama dan sebangun dengan penindasan. Hanya satu pihak saja yang dapat menikmati! Sebab, istri tidak mengiginkan hubungan itu, dan ia tidak akan terangsang dan terpuaskan, malah bisa tersakiti secara fisik (berupa iritasi pada vagina, misalnya) dan psikis. Apabila pemerkosaan jenis ini terus terjadi dan tidak tertanggulangi, istri dengan sendirinyha akan mengalami frigidits.

Tipologi kekerasan terhadap perempuan, bila dicermati, pembedaan atau pembagian gender telah melahirkan stereotip yang oleh masyarakat dianggap kodrat kultural, yang pada proses selanjutnaya menempatkan perempuan pada posisi subordinat.[7] Menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan bagi perempuan, antara lain berupa kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadapnya secara fisik maupun psikis.[8] Kekerasan ini bisa terjadi di mana saja, di ruang publik maupun domestk.

      Jenis-jenis kekerasan suami kepada istri, yaitu (a) kekerasan fisik, menyakiti secara fisik, (b) kekerasan psikis, meyakiti secara psikis, melukai perasaan istri, (c) kekerasan ekonomi, tidak memberikan kebutuhan ekonomi, (d) kekerasan seksual, melakukan pelecehan atau pemaksaan aktivitas seksual.[9]

      Andy Dermawan menyatakan, sedikitnya ada 3 bentuk kekerasan yang lumrah terjadi dalam rumah tangga: (a) kekerasan sikap, merendahkan, (b) kekerasan bahasa, memaki dan mengintimidasi, dan (c) kekerasan fisik, menjambak, memukul, menendang, dan mendorong hingga jatuh. Objek dan korabn kekerasan tersebut lebih banyak istri ketimbang suami. Dan, salah satu bentuk kekerasan yang kerap terjadi di dalam rumah tangga adalah pemaksaan aktivitas atau selera seksual. Dalam perkawinan, hubungan seksual menjadi aktivitas sah suami-istri, dan dilakukan demi menghasilkan keturunan, memenuhi hasrat seks, dan menaati perintah Tuhan atau sunnah Rasul (ibadah).[10]

Masour fakih, berangkat dari analisis gender, menyebutkan 3 bentuk kekerasan terhadap perempuan:
a.       Kekerasan terhadap pribadi (personal violence). Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan menderita dan menjadi korban kekerasan fisik dan mental. Penderitaan ini umunya sulit diungkap lantaran tidak terdoukumentasi secara baik dan resmi. Kekersan yang paling parah adalah pemerkosaan, termasuk di dalamnya pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape). Pemerkosaaan ini terjadi ketiak seseorang memaksa untuk pelayanan seksual tanpa kerelaan pasangan. Ketidak relaan ini seringkali tidak terekspresikan, dan itu dikarenakan berbagai factor, misalnya: ketakutan, rasa malu, keterpaksaan ekonomi, social, maupun cultural, atau ketiadaan pilihan.
b.      Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Kekerasan ini umunya paling sulit diungkap karena selain dianggap sebagai urusan internal rumah tangga, masyarakat pun cenderung lebih menyalahkan korbannya. Termasuk dalam kekerasan jenis ini adalah pemukulan dan yang sejenisnya terhadap anggota keluarga( istri dan anak-anak), diskriminasi terhadap anak laki-laki dan perempuan, kawin paksa, dan subordinasi dalam segenap proses pengambilan keputusan di rumah tangga.
c.       Kekerasan publik dan Negara (public and state violence). Kekerasan terhadap perempuan diluar rumah maupun di masyarakat umunya berupa sanksi social dan kultural serta diskriminasi. Termasuk dalam kekerasan ini adalah pemaksaan sterilisasi dalam program Keluarga Berencana, dan pornografi.[11]

PENYEBAB LANGSUNG MARITAL RAPE :
1.      Libido yang tidak berimbang. Dorongan seksual dimiliki setiap individu, tetapi kadar dan sifatnya berbeda antara laki-laki dan perempuan.  Laki-laki, biasanya, lebih bisa dan berani mengekspresikannya ketimbang perempuan. Maka, dalam keluarga, seorang istri cenderung pasif dalam mengejawantahkan libidonya. Kepasifan ini sebenarnya dapat diatasi dengan foreplay (“pemanasan” sebelum hubungan seks), sebuah prinsip yang tidak banyak dipahami para pelaku marital rape. Dalam sebuah hubungan seksual yang dipaksakan, istrilah yang menanggung sakit dan nestapa. Istri jarang dan atau pantang untuk menolak hubungan seksual yang dipaksakan lantaran takut nantinya suami malah nyeleweng atau menceraikannya, apalagi kalau suami tadi menganggap istrinya sudah “tak mampu” atau “tak setia” lagi.
2.      Penolakan istri. Penolakan yang antara lain didorong oleh cara suami memperlakukan istri saat melakukan senggama (disertai kekerasan dan ketidak wajaran, umpamanya) atau kondisi istri yang memang tengah tidak bergairah. Penolakan ini oleh suami kerap diartikan sebagai pembangkangan karena mencap kuat keyakina di benaknya bahwa melayani suami adalah kewajiban perempuan atau istri.
3.      Suami terpengaruh oleh alkohol atau obat-obatan. Orang mabuk akan bertindak berlebihan dan tidak terkontrol.[12]
PENYEBAB TIDAK LANGSUNG MARITAL RAPE :
1.      Kurangnya komunikasi. Kebahagiaan suami-istri terletak pada keterbukaan di antara mereka. Sayingnya, seks dalam rumah tangga kurang dibicarakan terang-terangan, hal ini belum lagi diperparah oleh budaya yang menganggap perempuan (istri) hanya berkewajiban melayani suami, tidak kurang dan tidak lebih. Hal ini membuat istri seringkali malu mengambil inisiatif lebih dulu dalam perkara seks, meski saat itu ia betul-betul sedang menginginkannya. Maka, ia tampak menerima diri sebagai objek pemenuhan seks suami belaka.
2.      Suami pernah diketahui nyeleweng. Selingkuhnya seorang suami dengan perermpuan lain, secara tidak langsung, memicu kekerasan seksual dalam perkawinan. Istri akan dengan sendirinya ogah-
ogahan saaat berhubungan seks karena terbayang perbuatn suami dengan “simpananny.” Sikap dingin istri ini, pada gilirannya, membuat suami agresif, kasar, dan bahkan eksesif (keterlaluan). Atau, bisa jadi, suami akan memaksakan cara behubungan seks yang tidak bisa dilakukan istrinya.
3.      Ketergantungan dan ekonomi. Istri yang tidak mandiri secara ekonomi hanya bersandar kepada suami memiliki posisi tawar (bargaining position ) lemah dalam urusan rumah tangga,  pun dalam soal seks. Istri rentan dipojokkan lagi posisinya bila menolak paksaan suami demi berhubungan intim, lebih-lebih saat disertai ancaman pemutusan suplai ekonomi. Istri tampak tidak punya pilihan selain mengiyakan, meskipun ia sedang tidak menghendaki. Ketergantungan ekonomi dapat pula menjangkiti suami, meskipun yang menjadi korban kekeraan seks pada akhirnya tetap istri. Suami yang secara budah dipersepsikan pemilik otoritas, merasa kurang dihargai istri saat tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi rumah lewat beragam kekerasan terhadap istri, baik fisik maupun psikis, termasuk kekerasan seksual.
4.      Kawin paksa. Kawin paksa lumrah membuat komunikasi yang baik dan wajar antara suami dan istri sulit terjalin, persoalan-persoalan rumah tangga pun kemudian jarang dibicarakan secara terbuka, termasuk persoalan seksualitas.[13]

KERANGAKA HUKUM DALAM NEGERI YANG BERLAKU
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia  melarang banyak dari pelecehan yang dilakukan terhadap pekerja rumah tangga anak, termasuk pelecehan, penyiksaan, penggunaa kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan untuk memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu, pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan seksual, penculikan, perniagaan budak, perdagangan orang, dan pembunuhan.[14]
Udang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan pernyataan tujuan untuk menjamin hak-hak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa.[15] Undang-undang ini mendefinisikan anak sebagai setiap orang yang berusia di bawah delapan belas tahun dan melarang eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak-anak, dan juga melarang kekerasan dan pelecehan terhadap anak.[16] Orang yang melakukan eksploitasi ekonomi atau denda maksimal Rp. 200.000.000.[17] orang yang melakukan tindakan kekerasan termasuk penyiksaan, terhadap seorang anak diancam hukuman penjara sampai dengan tiga tahun enam bulan, dan atau didenda maksimal Rp.72.000.000.[18] beratnya hukuman bertambah apabila akibat tindakan kekerasan tersebut anak terluka para (diancam hukuman penjara lima tahun dan atau denda maksimum Rp. 100.000.000 atau meninggaldunia (diancam hukuman penjara sepuluh tahun dan atau denda maksimu Rp. 200.000.000
Keputusan Persiden (Keppres) No. 59/2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Dalam Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerja Anak
Keputusan Presiden, menetapkan Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerjaan Anak (Rencana Aksi Nasional), rencana yang berjangka 20 tahun. Rencana ini mengidentifikasi anak-anak yang dieksploitasi secara fisik atau ekonomi sebgai “pembantu rumah tangga”, bersama dengan 12 sektor kerja anak, sebagai salah satu bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.[19]
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; melakukan pemetaan terhadap bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; dan untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dalam lima sector; anak-anak yang dilibatkan dalam penjualan, pembuatan dan perdagangan narkoba; anak-anak yang di perdagangkan untuk pelacuran; dan anak-anak yang terlibat dalam sector perikanan lepas pantai, pertambangan, dan produksi alas kaki.[20]
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pengaturan permasalahan pekerja anak dengan premis dasar bahwa tidak ada pengusaha yang boleh memperkejakan anak berusia di bawah usia 18 tahun.[21] Undang-undang ini selanjutnya menetapkan sebuah pengecualian bagi anak-anak yang berusia antara 13 sampai 15 tahun untuk melakukan”pekerjaan ringan” sampai dengan tiga jam per hari, dengan syarat bahwa orangtua member izin, tidak mengganggu (waktu) sekolah, dan sepanjang tidak menggangu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.[22]
Hukum ini juga melarang siapapun untuk memperkerjakan dan melibatkan anak-anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, seperti perbudakan atau praktik-praktik yang serupa dengan perbudakan; pekerjaan-pekerjaan yang memanfaatkan, meyediakan atau menawarka anak untuk pelacuran, pornografi atau perjudian; segala pekerjaan yang mempergunakan anak-anak untuk menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdangan minuman keras, narkotika, psikotropika; dan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.[23]
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga melarang kekerasan fisik, psikologis, dan seksual terhadap sorang suami, seorang isteri, anak-anak, anggota keluarga yang menetap dalam rumah, dan orang yang bekerja dalam rumah tersebut, dan menetapkan saksi bagi pelaku pelecehan.[24] Penelantaran anggota rumah tangga juga dianggap kejahatan.[25] Pekerja rumah tangga yang tinggal dalam rumah tangga ikut mendapatkan perlindungan karena tercakup sebagai individu-individu yang “bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.[26] Di bawah undang-undang ini, Negara juga disyaratkan untuk mencegah terjadinya kekerasan seperti itu, melindungi  korban dan menuntut para pelaku ke pengadilan. Undang-undang ini menetapkan hukuman yang lebih berat dari yang ditetapkan dalam kitab Undang-Undang Hukum pidana dan menurunkan standar pembuktian yang diperlukan untuk membuktikan kejahatan-kejahatan tersebut di dalam pengadilan, dengan menyatakan bahwa hanya satu lagi bentuk alat bukti lain yang sah yang diperlukan untuk kesaksian korban.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekersan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahguanaan kekuasaan atau posisi rentan, kerja ijon (debt bondage) atau memberikan atau menerima bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan ekspolitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.[27]
Undang-undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “eksploitasi” dapat termasuk kerja paksa, pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pelecehan fisik, pelecehan seksual, atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan sendiri.[28]
Termasuk dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, ketetapan positif bagi korban anak-anak dan saksi anak-anak misalnya untuk memeriksa saksi dan korban anak dilakukan dalam siding tertutup, hak untuk didampingi orang tuan wali pada saat pemeriksaan, pemeriksaan terhadap korban dan saksi anak dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa, dan kemungkinan untuk melakkan pemeriksaan di luar ruang siding pengadilan.[29]


[1] Qurai Shihab, Tafsir al-misbah;Pesan, Kesan dan Keserasian, (Jakarta:Lentera Hati),2001 h. 143
[2] Sunan At-Turmudzi, No, 927, H. 103; Boudhiba, H. 89.
[3] Shahih Bukhari, Juz 11, H. 205; Shahih Al-Muslim, Juz III, H. 157.
[4] Ibid., hlm. 28-29
[5] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (Bogor: Politeia, 1996), hlm.210.
[6] Herkukanto, “Kekerasan terhadap Perempudan dan Sistem Hukum Pidana: Pendekatan dari Sudut Pandang Kedokteran”, dalam Tapi Omas Ihromi, dkk., (ed.), Penghapusan Diskriminsi terhadap Perempuan (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 270.
[7] Farha Ciciek,”Pemerkosaaan Terhadap Perempuan Di Ruang Domestic Dan Public”. Dalam S. Edy Santoso(Ed.), Islam Dan Konstruksi Seksualitas (Yogyakarta:Psw Iain Sunan Kalijaga, The Ford Foundation, Dan Pustaka Pelajar, 2002), Hlm 107.
[8] Ibid., hlm. 150.
[9] Andy Dermawan, Marital rape, hlm. 300.
[10] Lihat Qs. Al-Baqarah (2): 187 dan Qs. An-Nisa (4); 19. Lihat juga Andy dermawan, Marital rape, hlm. 295.
[11] Masour Fakih, “Pemerkosaan dan Kekerasan Perspektif Analisa Gender”, dalam Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Perempuan dalam wacana pemerkosaan (Yogya; PKBI-DIY, 1997), hlm. 8-13.
[12] Muyassarotussolichah, Marital Rape, hlm. 358. Lihat juga Andy Dermawan, Marital Rape, hlm. 317-320
[13] Muyassarotussolichah, Marital Rape, hlm. 358-360
[14] Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 292-4 dan 351-8 (penganiayaan), 285-91(perkosaan), 335 (pemaksaan dengan kekerasan), 294(2) (pelecehan seksual), 285-91 (perkosaan dan kekerasan seksual), 328 (penculikan), 324-7 (perniagaan budak), 297 (perdagangan manusia), dan 338-50 (pembunuhan).
[15] UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 2-3
[16] Ibid., pasal 1(1) dan 59
[17] Ibid., pasal 88
[18] Ibid., pasal 80(1)
[19] Keputusan Presiden (Keppres)No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional dalam Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerja Anak.
[20] Ibid., bab III(A)(2).
[21] UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 68 dan pasal 1(26)
[22] UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 26,68 dan 69
[23] Ibid., pasal 74(1)(2).
[24] UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekersasan Dalam Rumah Tangga, pasal 2(1)(c), 6,7, dan 8.
[25] Ibid., pasal 9.
[26] Ibid., pasal 2(1)(c).
[27] Ibid., pasal 1(1).
[28] Ibid., pasal 1(7).
[29] Ibid., pasal 39-40.

0 comments:

Post a Comment

Tentang Blog

dibuat untuk memenuhi persyaratan ujian final test
Powered by Blogger.